Semangat untuk Bertekun
Bacaan: Ayub 13:1-16
“Lihatlah, Ia hendak membunuh aku, tak ada harapan bagiku; namun aku hendak membela perilakuku di hadapan-Nya.” (Ayub 13:15)
Bagi pola pikir duniawi akan terasa sangat aneh, jika ada orang saleh yang sudah begitu menderita, masih saja mempertahankan imannya. Seperti pada suatu hari, seorang ibu yang sudah terbaring tujuh tahun di ranjangnya, sampai ia tidak bisa membalik badannya, karena luka lecet yang luar biasa sakitnya. Tatkala ada tim perkunjungan dari gerejanya datang, mereka dengan penuh simpati menyatakan rasa sedihnya. Tetapi apa kata sang ibu? Ia malah berkata, “Saya tidak apa-apa. Saya malah bersyukur dan bersukacita karena Tuhan Yesus bersama saya.” Terkesan suasananya terbaik, karena malah tim itu yang merasa dikuatkan oleh kesaksian sang ibu.
Ayub, salah satu tokoh dalam Alkitab yang sangat terkenal dengan ketekunannya untuk tetap setia pada Tuhan, meski sungguh ia begitu menderita. Tak usah diceritakan lagi seperti apa penderitaan dan sengsara yang dia alami, karena kisah Ayub sudah begitu melekat dalam memori kita bukan? Kedekatannya dengan Tuhan tak berubah ditengah situasi yang berubah-ubah. Posisi rohaninya yang begitu kuat, tak bisa digeser atau digoncang oleh berbagai masalah yang merundung hidupnya. Secara manusia, ia benar-benar mengalami krisis berat, tetapi dengan pandangan ke depan, ia melihat Kristus Penebus itu, jauh di atas krisis yang ia alami (Ayub 19:25). David Guzik, penafsir kitab Ayub, menggambarkan, “Before his crisis, Job believed himself to be a blameless and upright man, as endeed he was (Job 1:1; 1:8). He steadfastly clung to this belief throughout all his experience of calamity, and through all the protest and arguments of his friends. Even before God, he would defend his own ways, not in arrogance, but in determined connection with reality.” Dengan kata lain, keyakinan Ayub bahwa ia telah berusaha hidup benar (bukan sekedar secara moral, tetapi secara spiritual) yang jauh lebih berbicara daripada segala pandangan dan argumen manusia, termasuk teman-temannya, bahkan istrinya sekalipun. Merujuk kepada pengajaran Tuhan Yesus, Ayub belajar melihat dirinya sebagai orang yang miskin di hadapan Allah, sehingga ia benar-benar mengalami seperti apa kekayaan dalam kerajaan Allah itu (Matius 5:3).
Apakah kita adalah orang benar yang hidup benar? JIka demikian, dapatkah kita juga memiliki prinsip yang sama dengan Ayub, sehingga ketekunan iman kita tidak berdasarkan apa kata orang tetapi berdasarkan pengalaman rohani kita dengan Tuhan?
Inspirasi: Orang benar bertekun dengan iman, bukan karena sekedar melakukan kewajiban agama, tetapi karena mengasihi Tuhan, meski dalam kesukaran.
(LPMI/Boy Borang)
Recommended Posts
Mengalirkan Air Kehidupan
November 23, 2024
Kemenangan yang Menguatkan
November 22, 2024
Semangat Pahlawan, Iman yang Tak Tergoyahkan
November 21, 2024