Hidup Itu Menyala

Hidup Itu Menyala

Bacaan  : Roma 8:1-11
Sebab, keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera. ( Roma 8:6 TB2 )

 

Hidup di dunia ini bukan sekadar soal bernafas, menjalani rutinitas, atau sekadar mencari nafkah. Ada panggilan yang jauh lebih besar, yaitu hidup dengan makna dan memberikan dampak positif bagi orang-orang di sekitar kita. Dalam filosofi Jawa, terdapat ungkapan bijak “Urip iku urup,” yang berarti “Hidup itu menyala.” Ungkapan ini mengajarkan bahwa hidup seharusnya menjadi terang dan memberikan kehangatan bagi sesama. Seperti lilin yang menyala, hidup kita diharapkan mampu menghalau kegelapan, memberikan arah, dan membawa harapan bagi mereka yang membutuhkan.

Namun, untuk menjadi terang yang menyinari, kita perlu memilih untuk hidup dalam pimpinan Roh Tuhan. Dalam Roma 8:6, kita diingatkan bahwa “keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera.” Setiap hari, kita dihadapkan pada pilihan untuk hidup menurut keinginan daging atau mengikuti keinginan Roh.

Hidup menurut keinginan daging berarti hidup hanya untuk memuaskan hawa nafsu dan ambisi duniawi. Orang yang hidup dalam daging cenderung terjebak dalam egoisme, amarah, iri hati, dan keserakahan.  Sebaliknya, hidup menurut Roh membawa kita kepada hidup yang penuh damai sejahtera. Roh Kudus menuntun kita untuk hidup dalam kasih, kebaikan, dan penguasaan diri. Ketika kita membiarkan Roh memimpin hidup kita, kita menjadi lebih sabar, bijaksana, dan mampu melihat segala sesuatu dengan hati yang bersyukur. Kita tidak hanya merasakan damai di dalam hati, tetapi juga memancarkan damai tersebut kepada orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mempraktekkan filosofi “Urip iku urup” dengan cara sederhana. Di dalam keluarga, kita bisa menjadi terang dengan menunjukkan kasih dan perhatian kepada pasangan, anak-anak, serta anggota keluarga lainnya. Di tempat kerja, kita juga bisa menjadi terang dengan bekerja dengan integritas, membantu rekan kerja yang membutuhkan, dan selalu menjaga sikap positif.  Di lingkungan sekitar, kita bisa menunjukkan terang Kristus dengan tidak segan-segan menolong mereka yang sedang mengalami kesulitan. Kehadiran kita dalam kegiatan sosial atau sekadar memberikan senyum dan sapaan ramah kepada tetangga dapat membawa perubahan kecil yang berarti. Tidak kalah penting, dalam pelayanan di gereja atau komunitas rohani, kita dapat menghidupi filosofi ini dengan melayani sepenuh hati. Ketika kita melayani bukan untuk mencari pujian tetapi untuk menyatakan kasih Tuhan, hidup kita benar-benar menjadi lilin yang menerangi dan menghangatkan hati banyak orang.

Coba kita renungkan sejenak: Apakah hidup kita selama ini sudah menjadi terang bagi orang lain? Apakah kehadiran kita membawa kehangatan dan harapan bagi sekitar kita? Atau justru sebaliknya, kita masih sering terjebak dalam keinginan daging dan menjadi beban bagi orang lain? Jika kita merasa hidup kita belum cukup “menyala”, jangan berkecil hati. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk memperbaiki diri dan memulai kembali. Kita bisa meminta Roh Kudus untuk membimbing setiap langkah kita, memberikan kita kekuatan untuk hidup dalam kasih, dan menjadikan hidup kita berarti bagi sesama.

Hidup yang menyala adalah hidup yang rela terbakar untuk Tuhan dan kebaikan bagi sesama.

 

TIM WEB/FK

share

Recommended Posts