Makna di Balik Penderitaan

Makna di Balik Penderitaan

Bacaan : Yesaya 53:10-12

Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas; oleh pengetahuannya, hamba-Ku, orang benar itu, akan membenarkan banyak orang dan kejahatan mereka dipikulnya.— Yesaya 53:11 (TB2)

 

Penderitaan adalah misteri besar dalam kehidupan manusia. Setiap orang, tanpa terkecuali, akan berjumpa dengan luka—baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Banyak dari kita pernah duduk diam dalam sunyi, menahan tangis, atau bertanya kepada langit: “Tuhan, mengapa semua ini terjadi?” Di tengah dunia yang penuh duka dan kehancuran, firman hari ini membawa kita menyelami kedalaman kasih Tuhan yang dinyatakan melalui sosok Hamba-Nya. Ayat ini adalah bagian dari perikop mesianik yang dikenal sebagai “Nyanyian Hamba Tuhan”, di mana Yesaya menubuatkan penderitaan dan kemenangan Sang Hamba. Ayat 11 secara khusus menyingkapkan inti dari pengorbanan itu: penderitaan yang ditanggung bukan tanpa tujuan, tetapi demi membenarkan banyak orang.

Dalam bahasa aslinya, frasa “melihat terang dan menjadi puas” menyiratkan hasil akhir yang penuh makna dan damai setelah penderitaan berat. Ini bukan sekadar “akhir bahagia”, tetapi sebuah kepuasan surgawi, buah dari pengorbanan total. Hamba Tuhan yang disebut “orang yang benar” itu tidak hanya suci dan tidak bercela, tetapi juga memiliki hikmat—pengertian ilahi—untuk mengerti bahwa penderitaan-Nya adalah bagian dari rencana keselamatan. Eksegesis sederhana dari bagian ini menyingkapkan bahwa penderitaan dalam kacamata Tuhan bukan sekadar tragedi, tapi bagian dari penebusan. Kata “membenarkan” di sini juga sangat penting, karena dalam konteks Ibrani, itu berarti memulihkan posisi seseorang di hadapan Allah—menjadikan seseorang benar kembali, bukan karena usahanya, melainkan karena pengorbanan pihak lain.

Dari ayat ini, kita belajar bahwa penderitaan manusia tidak pernah lepas dari perhatian Allah. Dia bukan Allah yang jauh dan acuh, tetapi Allah yang datang mendekat, masuk ke dalam luka manusia dan menanggungnya. Dia memahami derita, karena Dia sendiri telah mengalaminya. Maka, penderitaan kita pun tak pernah sendirian. Setiap air mata yang jatuh, setiap peluh yang menetes, setiap doa yang hanya bisa diucapkan dalam diam—semuanya diperhatikan-Nya. Bahkan, dalam kasih-Nya, penderitaan bisa menjadi jalan menuju pengharapan, seperti terang yang perlahan muncul setelah malam paling gelap.

Hari ini, saat kita memandang dunia sekitar kita, kita tidak bisa menutup mata dari realitas penderitaan. Berita demi berita menampilkan luka-luka kemanusiaan yang memilukan hati: banjir yang menghanyutkan harapan banyak keluarga, longsor di Mojokerto yang merenggut nyawa dan rumah, gempa bumi di Bayah, Banten yang mengguncang jiwa dan tubuh, dan juga gempa di Myanmar beberapa waktu lalu yang meninggalkan banyak korban meninggal, puing-puing bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. Dalam semua ini, kita pun bertanya: “Di mana Tuhan?” Firman hari ini menjawab, Dia ada di sana. Dia ada dalam tangis anak yang kehilangan ibunya. Dia ada dalam keheningan para relawan yang mengangkat puing dengan air mata. Dia ada dalam setiap uluran tangan kecil yang membawa secercah harapan.

 

Dalam penderitaan, kita menemukan wajah Allah yang paling jujur—bukan yang jauh dan dingin, tetapi yang hadir dan penuh kasih.

 

TIM WEB

 

share

Recommended Posts