DIomelin, Disindir-sindir?

DIomelin, Disindir-sindir?

Bacaan : Kolose 3: 18-25

“Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” (Kolose
3: 21)

 

Di kalangan Jawa jaman dahulu, ada nasihat sederhana ketika
mengasuh anak. Ungkapan singkat, “Aja pijer diuneni utawa
disemoni” (jangan selalu diomelin dan disindir-sindir) dimaksudkan ketika
anak berbuat teledor jangan selalu diomelin, namun saat anak berubah baik
jangan justru disindir. Nasihat yang berimpitan dengan kebenaran Injil ini
sekarang sudah jarang terdengar apalagi budaya profan lebih banyak
mendominasi hidup kita.

Perintah Roh Kudus yang dituliskan rasul Paulus ini praktis, namun
didasari konsep yang dalam serta berdimensi waktu yang panjang. Kata yang
negatif, pedas, bahkan celaan dapat menjadi kepahitan puluhan tahun
lamanya. Nasihat ini khusus ditujukan kepada para ayah, meskipun ibu juga
bisa berpotensi melakukan hal yang sama, namun ayah kadang-kadang tidak
memiliki ketajaman atau kehalusan perasaan seperti ibu sehingga walaupun
konten kata-katanya tidak salah, dengan diksi dan intonasi yang keras-pun,
hati seorang anak bisa luka. Kata tawar hati dalam ayat diatas juga bisa
diartikan patah semangat atau putus asa. Hal ini berhubungan dengan citra
diri anak tersebut maupun tentang relasinya dengan sang ayah. Omelan dan
sindiran tidak pernah menjadi media tumbuh yang baik bagi kepribadian
anak-anak kita. Ketika seorang bapa menyakiti hati anaknya dengan kalimat
maupun sikap / gestur, anak akan memiliki citra diri yang buruk bahkan
salah. Atau di lain kondisi akan tercipta jurang komunikasi & relasi antara
ayah dengan anak. Kedua hal ini sama-sama merugikan si anak, sehingga
pertumbuhan mentalnya terhambat. Yang lebih berbahaya adalah
pengenalannya akan Tuhan terganggu sehingga ia tidak dapat sepenuhnya
menikmati setiap janji dan kuasa Tuhan dalam hidupnya. Tentu orang tua
adalah pribadi yang paling mengerti tentang siapa anaknya, sehingga sikap
dan tutur katanya pada si anak seharusnya lebih berhati-hati. Meskipun hal
ini bukan berarti ketegasan dan konsistensi orang tua untuk menanamkan
kebenaran rohani menjadi kabur bahkan luntur karena kompromi.

Saat ini kita berada dalam jaman milenial dengan perangkat gadget
yang makin maju di setiap menitnya. Dunia yang berubah cepat dan tak
terduga ini membutuhkan hikmat dan kasih Allah serta wawasan yang makin
luas bagi setiap orang tua dalam membimbing dan membesarkan anak
anaknya untuk kemuliaan Allah.

Inspirasi: Membesarkan hati jauh lebih berguna dan berharga bagi anak
anak kita daripada menyakitinya. Hal itu tentu tidak mudah dan
membutuhkan kuasa Allah. Namun yakinlah, bersama Allah kita akan bisa

 

(LPMI/Wahju Djatikoesoemo)

share

Recommended Posts