Iman atau Kekuatiran

Iman atau Kekuatiran

Bacaan: KOLOSE 3:5-17

”Dalam hal ini tiada lagi orang Yunani dan Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.” (Kol. 3:11)”

Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat yang terkenal dengan perjuangan anti diskriminasi atau anti perbudakannya. Sebelum menjadi Presiden, perbudakan sudah berjalan ratusan tahun. Namun kemudian ia berhasil menghapuskannya sehingga terjadilah kesetaraan di antara warga kulit putih maupun kulit hitam (Indian) di masanya.

Alkitab juga menulis bahwa sikap membedakan terjadi di kalangan Kristen Yahudi dan non Yahudi. Masih ada aroma diskriminatif di dalam gereja Tuhan. Meskipun mereka tahu bahwa di dalam Kristus semua telah disatukan, tetap saja sikap membedakan itu belum terkikis. Benar-benar sikap Yahudisme masih begitu kuat, yang walaupun sudah menjadi Kristen, tetapi masih kental dengan mental diskriminatif. Tidaklah mengherankan kalau Paulus harus terus mengningatkannya (Ef. 2:11-22). Tentu saja ia kuatir bila pemahaman jemaat masih bercokol pada ‘kotak’ masing-masing, maka pengorbanan Kristus yang mempersatukan menjadi sia-sia. “Di dalam Kristus semua perbedaan sudah dihapuskan; baik perbedaan suku bangsa, agama, kebudayaan, sosial ekonomi, budak atau orang merdeka, Sebagai manusia baru di dalam Kristus, semua sama dan menjadi satu keluarga.” (Norman Geisler). Paulus sendiri pernah menyatakan kekuatirannya atas kehidupan jemaat (Korintus), yang diwarnai perselisihan, irihati, amarah, bisik-bisikan (gosip), keangkuhan, dan kerusuhan (2 Kor. 12:20).

Apakah sekarang masih ada kecenderungan membeda-bedakan satu sama lain dalam gereja Tuhan? Nyatanya tidak sedikit orang Kristen yang kecewa karena adanya perlakuan distinktif (membeda-bedakan) di dalam gereja ataupun pelayanan. Bahkan ada banyak orang yang belum percaya, atau baru mau percaya, terkesan disepelekan karena masalah status sosial ekonominya. Ini merupakan satu masalah yang menghambat pertumbuhan dan kesaksian Kristen di tengah masyarakat. Kita juga mungkin sering kuatir dengan soal makan minum, dan sebagainya, tetapi kita tidak mengkhawatirkan (merasa prihatin) dengan adanya tembok-tembok pemisah kesatuan di antara orang-orang percaya. Ini sikap yang bertentangan dengan doa Yesus, agar semua menjadi satu (Yoh. 17:21). Jika demikian, maka apakah kita sebagai gereja Tuhan dalam arti organisme, bukan sekedar organisasi, siap menjadi agen pemersatu atau tanpa sadar malah menjadi biang perpecahan?

Inspirasi: Kekhawatiran terhadap potensi perpecahan atau diskriminasi dalam gereja Tuhan, selayaknya menjadi perhatian seorang Kristen yang sehat rohaninya.

(LPMI/Boy Borang)

share

Recommended Posts