OPOSISI KETAHANAN MENDERITA

Firman Tuhan: Kisah Para Rasul 7:54-60
“Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring: “Tuhan janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka.” Dan dengan perkataan itu, meninggallah ia.” (Kisah Para Rasul 7:60)
Suatu hari sebuah tim besuk gereja berkunjung pada seorang ibu yang sudah menderita sakit delapan tahun. Ia tidak dapat berbalik badan, kecuali terus terlentang selama delapan tahun itu, sehingga badannya menjadi lecet, luka luka dipunggungnya. Keluarganya merawatnya dengan menggunakan bedak gosok untuk sedikit mengurangi rasa sakit dan perihnya. Saat itu salah satu angota tim berkata, “Kasihan ya Bu, sangat menderita. Tuhan kuatkan Ibu ya.” Namun apa katanya, “Oh, tidak ada-apa. Saya malah terus bersyukur dengan keadaan ini. Saya tidak apa-apa.” Anggota tim pun malah merasa, bukan mereka yang melayani, malah ibu itu yang menguatkan mereka. Semua belajar
dari ketahanan iman ibu itu, yang kuat menanggung penderitaannya. Lalu bagaimana dengan Stefanus ketika dia dirajam sampai mati, apakah ia sangat menderita? Pasti! Kita tidak tahu, lemparan batu keberapa yang membuatnya tak bertahan sampai mati. Ia bukan saja menderita secara fisik, tetapi juga mentalnya sangat tertekan. Tentu dia kecewa dan sakit hati, mengapa malah para pemimpin agama Yahudi yang tahu kebenaran, malah menolak kebenaran.
Termasuk Saulus, yang berhati ganas dan penganiaya itu (cf. 1 Tim 1:13), hadir di sana tanpa kasih sedikit pun. Dan yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa Stefanus begitu tahan menderita? Tidak bisakah ia memilih untuk menghindari penderitaan itu, supaya luput dari rajaman yang mematikan
itu? Lukas tidak menulis, dan memang ia tidak memilih jalan itu. Tetapi di mana rahasia ketahanannya? Hatinya dipenuhi Roh Kudus dan matanya tertuju ke atas, melihat kemuliaan Allah dan Kristus, yang berdiri di sebelah kanan Allah itu.” (ay. 55-56). Saulus yang tidak tahu bahwa suatu hari kemudian ia akan bertobat, akhirnya merasakan yang sama. Tentu saja ia sangat teringat pada Stefanus, dan ia pun menerima kenyataan yang sama (Kis. 14:19; cf. 2 Kor. 6:3-10).
Seperti apa ketahanan kita menderita hari-hari ini? Mungkin orang lain tidak tahu, kita sedang bergumul berat dalam studi, pelayanan, pekerjaan, atau pun kondisi kesehatan kita, bukan? Mungkin kita tidak kesakitan karena dirajam, tetapi terus dihujani dengan berbagai tantangan dan persoalan yang bertubi-tubi. Dikala mengalami penderitaan itu, apakah ada suara-suara yang mencoba
melemahkan kita? Bagaimana kita menyikapinya? Apakah kita masih melihat ke atas, melihat kemuliaan Allah itu? Seorang Kapten Pilot Penerbangan Misi – MAF, yang pernah mengarang buku, “Jangan Menyerah”, malah ia sendiri menderita sakit, yang tak kunjung sembuh, dan ia pun tak menyerah sampai nafas terakhir. Seorang tokoh berkata, “Suffering is the stripping of our hope in
finite things, therefore we don’t put our ultimate hope in anything finite.” Penderitaan seperti mengeluarkan harapan kita dari hal-hal yang sementara, karena itu janganlah kita menaruh harapan akhir kita pada sesuatu yang sementara.”
Inspirasi: Menanggung penderitaan, orang Kristen selalu belajar pada perspektif ilahi Ayub. Perspektif dunia orang yang belum percaya, selalu melihat apa yang terlihat, bukan yang tak kelihatan. (BB)
LPMI/ Boy Borang
Recommended Posts

REFORMASI & PEMIKIRANKU
Oktober 06, 2025

REFORMASI & PENGORBANANKU
Oktober 04, 2025

REFORMASI & PERGUMULANKU
Oktober 03, 2025