Orang Berhikmat Menjaga Mentalitas

Orang Berhikmat Menjaga Mentalitas

Bacaan: Yakobus 1:9-11

“Baiklah saudara yang berada dalam keadaan rendah bermegah karena kedudukannya yang tinggi, dan yang kaya karena kedudukannya yang rendah. Sebab ia akan lenyap seperti bunga rumput.” (Yak. 1:9-10)

Dalam keadaan miskin atau berstatus sosial rendah lalu harus bermegah, satu hal yang tak masuk akal bagi pola pikir orang dunia. Sebaliknya orang yang kaya atau berstatus sosial yang tinggi, lalu disuruh bersikap merendah, satu hal yang sulit. Tetapi tatkala ia mengalami masa- masa sulit, mungkin kekayaannya ludes dilanda bencana, barulah ia mengerti pentingnya mindset yang siap menerima segala kenyataan.

Alkitab tidak menentang orang kaya atau kekayaan, karena justru banyak orang kaya sangat murah hati dan banyak berbuat bagi kesejahtaraan banyak orang. Dan umumnya orang kaya yang demikian, adalah orang yang memiliki mentalitas yang benar terhadap apa yang ada padanya. Bahkan ia bisa bersikap seperti orang yang tak berpunya, dan ketika datang masa sukar, ia tidak menjadi begitu tergoncang. Inilah sikap orang berhikmat di dalam Kristus. Yakobus memang bicara soal pentingnya hikmat di awal suratnya, agar jemaat Yahudi Kristen diperantauan itu memiliki mindset yang benar. Ayub adalah contoh konkritnya. Ketika dia punya segalanya dan ketika segalanya telah sirna, hati dan pikirannya tidak berubah. Ini terbukti dari perkataannya dalam Ayub 1:21, bahwa Tuhan yang memberi, Tuhan pun dapat mengambil.” Dia masih bisa berkata “Terpujilah nama Tuhan.” Jadi benar-benar kesiapan mentalnya sangat teruji. Sama dengan Paulus, bahwa dalam segala keadaan ia telah belajar, dia tahu apa itu kurang dan apa itu limpah, dan berbagai pernyataan senada, sehingga iasanggup menanggung segala keadaan itu (Filipi 4:12-13). Polycarpus saat disuruh meyangkal Yesus agar tidak dibakar, ia hanya berkata: “Mana mungkin 86 tahun sudah mengabdi dan melayani Tuhan, Dia tidak pernah menyakitiku, lalu saya disuruh menyangkal Dia dalam waktu sekejab?”

Banyak orang Kristen masa kini, tidak seperti itu. Saat semua baik-baik saja, saat lagi kuat dan sehat, saat lagi masih punya segalanya, hidup dipenuhi senyum dan tawa, penuh dengan sukacita dan ucapan syukur. Tetapi di kala semua berubah, pendeknya mulai serba susah dan terbatas, hati seakan tidak siap menerima, akhirnya benar-benar dropped, sungguh- sungguh down, dan menjadi tawar hati. Muncullah kata-kata seperti, “saya tidak menyangka menjadi seperti ini”, atau bertanya “mengapa jadi begini” dsb. Ayub, Paulus, Polycarpus, manusia biasa seperti kita, namun mengapa mereka mampu berpikir positif? Pengertian mereka sudah berada pada posisi yang tepat. Bagaimana dengan kita?

Inspirasi: Siap menerima segala kenyataan dengan penuh ucapan syukur, bukanlah sifat orang duniawi, tetapi karakter orang berhikmat di dalam Kristus.

(LPMI/Boy Borang)

share

Recommended Posts