Umur Panjang Seperti Apa?

Umur Panjang Seperti Apa?

Bacaan : Efesus 6: 1-3.
Supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi (Efesus 6: 3)

 

Saat papi saya sudah lumpuh (akibat Stroke dan Parkinson) sekian
tahun, beliau tetap berdoa ingin melihat cucu sulungnya/ putra saya
menjadi sarjana. Walaupun terharu, namun dalam hati saya kasihan pada
mami dan kakak yang merawat setiap hari. Akhirnya beliau wafat di usia 80
dan tidak sempat menyaksikan wisuda anak kami. Meskipun kondisi sulit,
ayah termasuk berusia panjang, sebab ayahnya meninggal di usia 62 tahun
saat ayah berusia 35 hari. Kakek-kakek buyutnya berusia 53-70 an tahun saja,
dan tertua leluhurnya yang ke 15, seorang wali usianya 100 tahun lebih.

Umur manusia di awal kitab Kejadian umumnya ratusan tahun dan itu
wajar sebab kondisi bumi lebih kondusif apalagi mendukung hanya beberapa
orang saja. Pasca air bah mulai ada penurunan, dan di masa Daud, dicatat
doa Musa yang menyebut masa hidup 70 tahun dan jika kuat 80 tahun (Mzm
90: 10). Dimasa PB nominal usia tidak disinggung spesifik, misalnya imam
Zakharia dan nabi Hana yang disebut lanjut usia.

Ayat diatas berada dalam konteks hubungan orang tua dan anak, namun
ada indikasi penting yaitu dua variabel yang disebut berurutan, pertama
kamu berbahagia dan kedua panjang umurmu. Dari frasa ini kita melihat sisi
personal seorang anak yang mematuhi (salah satu) perintah Allah untuk
menghormati orang tua adalah agar hidupnya bahagia dan umurnya panjang.
Kebahagiaan hidup adalah kondisi dan situasi yang normatif nyaman dan
produktif. Sementara panjang umur (rentang waktu, kata keterangan)
sebagai variabel kedua adalah faktor ikutan sebab bukan setara dengan
variabel pertama (kata sifat). Hal ini mengindikasikan bahwa PB makin
spesifik menyoroti fungsionalisasi masa kehidupan bukan nominalisasi
kuantitatif umur. Kualitas dan kebermaknaan hidup menjadi lebih utama dan
bukan semata jumlah usia yang banyak. Ini tentunya juga harus menjadi
konsentrasi kita. Artinya seberapa kita secara normatif tetap bermakna
secara signifikan bagi keluarga, masyarakat, dan gereja tentunya. Kualitas
hidup yang memberkati sesama, tentu berkontribusi membawa pada titik
netral pada iman Kristen bagi sesama. Seterusnya keterbukaan pada Yesus
bisa bertumbuh dan kita bisa bersaksi dengan lebih mudah. (WDj)

Inspirasi: Hidup yang berkualitas secara umum lebih banyak bersifat
kualitatif bukan kuantitatif.

 

(LPMI/Wahju Djatikoesoemo)

share

Recommended Posts